Tuhan yang ilmunya meliputi segala hal yang ada dilangit dan dibumi,
telah menciptakan kita manusia sebagai makhluk paling mulia dan
sempurna dibanding makhluk-makhluk lain ciptaannya. Kesempurnaan itu
ada dalam wujud akal yang bisa membedakan mana hal baik, dan mana hal
buruk. Namun bila ternyata kebaikan sudah tak lagi ada dalam dirinya,
maka sungguh, tidak akan ada kebahagiaan yang akan bersemayam dalam
hatinya.
Ada sebuah kisah penuh hikmah dari
seorang Ibu tua renta. Sebutlah Ibu Asih namanya. Ia hidup seorang diri,
sudah sejak 10 tahun yang lalu anak semata wayangnya pergi entah
kemana. Dalam kesehariannya, Ibu Asih hanya bisa berjualan nasi ketan.
Modal yang ia miliki pertama kali sungguh tidak banyak. Sebelum anaknya
pergi, Ibu Asih terpaksa harus melunasi semua hutang yang dibebankan
kepadanya. Amir, anak yang meninggalkan Ibunya itu mungkin bisa
dikatakan durhaka. Belum cukup meninggalkan Ibunya, kini Amir pun
meninggalkan hutang karena judi yang pernah ia lakukan dulu. Tapi
bagaimana bisa Ibu Asih melunasinya, semakin hari, bunga hutang justru
semakin besar saja.
Penderitaan pun rupanya tak cukup sampai
disitu. Karena kesehatannya yang kurang baik, kini Ibu Asih tak
sesering dulu saat berjualan. Kini, terkadang hanya tiga kali dalam
seminggu, ia bisa menghasilkan uang. Dengan untung yang hanya cukup
untuk makan, Ibu Asih rupanya tak pernah menyesal ataupun mengeluh
dengan nasib yang seadanya.
Namun pada suatu hari, disaat gerbong
kereta yang biasa ditumpangi sedang sesak-sesaknya, apa daya, Ibu Asih
hanya bisa duduk diantara gerbong kedua dan ketiga. Ia berharap agar di
stasiun berikutnya, kereta sudah tak lagi penuh seperti ini, sehingga
ia bisa menelusuri kembali gerbong kereta untuk menjajakan dagangannya.
Sembari menunggu, Ibu Asih termenung seketika. Ia memikirkan tentang
bagaimana kabar anaknya. Belum sempat keluar air mata, Ibu Asih terkejut
dengan suara bocah berusia kurang dari 7 tahun yang saat itu menabrak
barang dagangannya. Dan sungguh, betapa air mata itu keluar setelah Ibu
Asih menyadari bahwa nasi ketan yang sudah dibungkus rapi akhirnya
tercecer kemana-mana. Dan karena sempitnya kereta, hal ini pun membuat
kaki para penumpang lainnya secara tidak sengaja menginjak nasi ketan
itu.
“Maaf bu, saya tidak sengaja.” Merasa
menyesal, bocah kecil itu pun mencoba memungut nasi ketan yang tersisa.
“Sudah tak apa, tak perlu dipungut, biar Ibu saja yang merapikan.”
Belum terhapus air matanya, Ibu Asih pun menoleh kepada bocah yang
sedari tadi mencoba membantunya. Dan betapa terkejutnya saat ia
mengetahui bahwa bocah itu cacat. Kakinya baru saja diamputasi, dan
kini, tongkat adalah penyangga baru untuk kakinya.
“Kamu kenapa dek?”, tanya seorang tua
kepada bocah kecil. “Gapapa kok, Ayah.” Sejalan dengan ucapan “Ayah”,
Ibu Asih pun menoleh seketika dan, “Subhanallah”, betapa terkejutnya ia
saat melihat sosok seseorang yang ada didepannya. Amir, anak semata
wayang yang telah pergi 10 tahun lalu itu, kini ada dihadapannya. Anak
yang selama ini tak pernah luput dari segala doa ibunya ternyata telah
memberikan ia seorang cucu. Tak tahan menahan haru, Ibu Asih pun segera
keluar dari gerbong kereta saat kereta mulai terhenti di sebuah
stasiun. Tidak berharap banyak, Ibu Asih yang berjalan tanpa gendongan
nasi ketan hanya ingin berlari sekencang-kencangnya, walau sesekali
menyeka air mata.
“Bu, Ibu, tunggu Bu! Tunggu Amir, Bu!”
Terdengar teriakan Amir yang saat itu mulai parau. Amir tahu bahwa
ibunya pasti mendengar, tapi Amir tidak tahu, mengapa justru ibunya lari
seperti itu. Tapi bagaimanapun seorang wanita berlari, pada akhirnya
berhasil juga dihentikan.
“Bu, Amir minta maaf, Amir khilaf, Amir
salah, Amir juga durhaka, Bu! Bu, Ibu kenapa harus lari dari Amir? Amir
tidak akan lagi meninggalkan ibu. Bu, sekarang Amir sudah punya rumah,
Amir sudah punya bisnis sendiri, dan Amir juga sudah tidak berjudi
lagi. Tapi Bu, perlu ibu ketahui, bahwa Amir tidak merasa bahagia
dengan semua ini. Amir coba mencari ibu sejak saat itu, tapi tak juga
Amir temukan dimana ibu berada. Bu, sekiranya ibu berkenan untuk
tinggal bersama Amir, Amir pasti akan sangat bahagia, begitu juga
dengan Dea, cucu ibu. Bu, bahagia Amir sungguh bukan dengan semua harta
ini, tapi ibu. Amir tahu, walau Amir meninggalkan ibu, tapi tak pernah
sekalipun ibu meninggalkan Amir. Bila tanpa doa ibu, Amir mungkin
tidak akan bisa seperti ini. Bu, maafkan Amir .. “
Sahabatku, terkadang raut wajah yang
gembira tersimpan kesedihan duka nestapa. Tapi seburuk apapun hidup
kita, yakinlah bila suatu hari akan ada terang yang menyapa. Jika kita
ingin bahagia, maka cobalah untuk membahagiakan juga orang-orang
disekitar kita.
sumber : gemintang.com
0 komentar:
Posting Komentar